3 hari pertama aku tinggal di
rumah Tante Hani, aku dan Mbak Vidya tiap malam berhubungan seks. Kami bangun
selalu sebelum jam 4 pagi untuk melakukannya sekali lagi sebelum aku pindah ke
kamar tamu.
Namun, setelah petualangan sex-ku
dengan ibu di rumah kami, nafsu seksku terbiasa diumbar bebas, melakukan sex
hanya malam dan pagi membuat aku merasa kekurangan. Akhirnya, pada hari ke
empat, aku mencoba melakukannya di pagi hari setelah sarapan.
Waktu itu kami sedang duduk di
ruang keluarga. Tante Hani sedang berkebun di halaman belakang. Pembantu mereka
sedang keluar untuk belanja bahan makanan. Aku dan Mbak Vidya baru selesai
sarapan dan memutuskan untuk menonton TV.
Mbak Vidya duduk memanjang di
sofa besar dengan kaki di atas sofa menghadap TV. Aku duduk di sofa kecil di
sebelahnya. Mbak Vidya belum mandi dan masih mengenakan piyama model celana
panjang dan baju you can see dengan kancing di depan. Saat itu udara tidak
begitu panas, namun Mbak Vidya baru saja sarapan indomie rebus dan sedang
bermandikan peluh.
Bau tubuh Mbak Vidya yang belum
mandi sedikit tercium dari tempatku duduk. Rambutnya agak lepek dan ia sedikit
terengah-engah mungkin karena beberapa cabe rawit yang dimasak di indomienya.
Aku menjadi horny.
Aku segera menghampiri Mbak Vidya
lalu melumat bibirnya yang merekah itu tiba-tiba. Untuk beberapa waktu Mbak
Vidya membalas lidahku dengan lidahnya. Dari mulutnya aku dapat merasakan
sedikit kuah indomie rasa kari ayam yang membuat aku bertambah buas melumat
bibir dan mulutnya. Bunyi kecupan bibir kami mulai bertambah banyak dan cepat.
Namun akhirnya Mbak Vidya mendorongku dan dengan suara tertahan berkata,
“Adek! Nanti kelihatan orang
lain. Lagian Mbak kan belum mandi!”
“Ga ada orang, Mbak. Terus, biar
Mbak belum mandi, tubuh Mbak harum baunya.”
“tapi kalo kelihatan Ibu gimana?”
“Ari kangen, Mbak….. ga tahan
nih…….”
“Ah…. Ariii…… jangan dong……..
bahaya….”
“Mbak…. Sebentar aja ya…….
quickie express aja gimana? Ga tahan nih….. abis Mbak cantik banget…… bikin Ari
ga nahan…..”
Mbak Vidya mengerutkan keningnya,
aku mengecup bibirnya lagi. Kami berciuman sebentar sebelum akhirnya Mbak Vidya
melepaskan ciuman lagi.
“Jangan ahhhhh…..”
Dengan cepat aku merogoh celana
piyamanya dan terkejut ketika mendapati tangan kiriku itu tidak terhalangi
celana dalam melainkan telapakku meraba selangkangannya yang gundul itu.
“Adek!”
Mbak Vidya menghardikku pelan dan
tangannya menahan tanganku namun tidak berusaha menepis tanganku. Hanya menahan
pelan saja. Aku menggerakan jemariku hingga mengelusi bibir memeknya. Mbak Vidya
mendesis sambil membisikan agar aku menghentikan aktivitasku itu.
Namun aku tetap mengelusi
kemaluan botak Mbak Vidya sambil cengengesan. Mbak Vidya mengerutkan dahinya
sambil memonyongkan mulut untuk memperlihatkan bahwa ia sebal. Namun di mataku,
Mbak Vidya tambah cantik saja.
“Mbak Vidya tambah cantik loh…..”
Lalu aku mencium bibirnya dan
kali ini kami berciuman agak lama. Lambat laun vagina Mbak Vidya menjadi basah
juga dan keringatnya bertambah deras. Bau tubuh Mbak Vidya menjadi bertambah
keras tercium di udara.
“ya udah…. Di kamar Mbak aja ya….
biar bisa dikunci,” kata Mbak Vidya setelah melepaskan ciuman kali ketiga dan
sambil berdiri untuk berjalan cepat ke kamar. Aku tidak siap sehingga butuh
sepersekian detik untuk mengejarnya.
Aku berhasil mengejarnya di kaki
tangga dan memegang tangannya, tapi Mbak Vidya lebih cepat reaksinya dan
berhasil melepaskan diri. Kami berkejaran sehingga pertengahan tangga di mana
tangganya membelok 90 derajat dan kali ini aku berhasil memegang kedua
pinggulnya. Mbak Vidya berusaha meloloskan diri namun tak berhasil. Ia memegang
pagar tangga dan berusaha menarik tubuhnya agar lepas dari cengkramanku.
Berhubung tanganku mencengkram
celana piyamanya maka kini tiba-tiba saja celana panjangnya itu tertarik sampai
lutut.
“Aaaahhh…..” jerit Mbak Vidya.
Mbak Vidya berhenti walau
berhasil naik satu tangga karena celananya melorot sehingga posisinya kini
sedang berpegangan ke tangga dengan kaki kanan di anak tangga yang lebih tinggi
satu tingkat dari anak tangga tempat kaki kirinya berada. Posisinya ngangkang.
Berhubung ia tidak pakai celana dalam, maka kini Mbak Vidya sedikit nungging
berpegangan tangga dengan pantat dan memek yang telanjang dengan kaki kanan
menekuk berlutut karena tertahan oleh cengkramanku di kakinya.
Dengan sigap aku segera
menghampiri Mbak Vidya sambil melorotkan celana pendekku lalu memposisikan
kontolku yang sudah tegang didepan memeknya yang basah itu dan menusuk lubang
kenikmatan Mbak Vidya.
Gerakanku begitu cepat sehingga
hanya membutuhkan beberapa detik saja. Memek Mbak Vidya sudah basah namun belum
kuyup, sehingga agak sedikit seret. Sensasinya bagaikan sedang memperkosa, dan
aku menjadi buas.
“Adeeeekkk……” erang Mbak Vidya.
Dengan cepat aku merojok-rojok
memek Mbak Vidya yang sempit dan hangat itu dengan kontolku, kemudian aku peluk
Mbak Vidya dari belakang dengan kedua tanganku untuk kupegang baju piyamanya di
bagian lubang leher piyama itu, lalu dengan sekuat tenaga aku bedol baju
piyamanya sehingga berhamburanlah beberapa kancing-kancing piyamanya sehingga
kini piyamanya terbuka paksa, namun masih ada dua kancing tersisa dan kembali
aku buka paksa sehingga kedua kancing itu copot juga.
Aku remas teteknya yang ternyata
masih terbalut bra. Dengan gemas aku melepaskan pelukanku dan hendak merobek
bajunya, tetapi saat tangan kananku menarik kerah bajunya, Mbak Vidya
melepaskan tangan kanannya dari pagar tangga dan menggerakan tangan itu ke
belakang sehingga gerakanku membuat baju piyama Mbak Vidya terlepas dari tangan
kanannya sehingga kini bajunya tergantung di tubuh bagian kiri karena tangan
kiri Mbak Vidya masih memegang tangga.
Tak sabar aku geser baju itu ke
samping sehingga berjumbel di tangan kiri Mbak Vidya. BH hitam Mbak Vidya kini
yang menutupi tubuh bagian atasnya. Sungguh indah melihat punggung putih penuh
keringat Mbak Vidya yang berbalut bra hitam sementara tubuh bagian bawahnya
sudah telanjang bulat. Tubuh seksi itu terguncang-guncang karena gempuran
tubuhku yang sedang mengawininya di tangga. Mbak Vidya kembali memegang tangga
dengan kedua tangannya, tak peduli lagi baju piyamanya yang sudah rusak dan
tergantung di tangan kiri.
Selama itu, memek Mbak Vidya kini
sudah basah kuyup membuat dinding kemaluan Mbak Vidya yang sempit itu semakin
licin. Selangkanganku menampari pantatnya semakin cepat. Aku menyusupkan kedua
tanganku ke dalam BHnya dari arah bawah sehingga kedua tanganku dapat meremas
kedua payudara Mbak Vidya tanpa halangan apapun lagi, namun aku tak mau melepas
BHnya, karena dari belakang terlihat seksi sekali pemandangan seorang perempuan
yang hanya memakai BH hitam sementara bagian tubuh yang lain sudah bugil.
Aku mulai menjilati punggung Mbak
Vidya yang basah kuyup oleh keringat kakak sepupuku itu. Tak lupa aku
memberikan cupangan di sana sini. Sementara kini Mbak Vidya hanya mampu
mengerang saja kugagahi di tengah tangga seperti ini sambil tetap berpegangan
pada jeruji tangga. Makin lama punggung putih indah Mbak Vidya sudah
belang-belang dihiasi bercak cupanganku telah bermandikan keringatnya yang
bercampur air ludahku. Sementara, Mbak Vidya sudah mengerang-ngerang dan
badannya maju mundur dengan cepat.
Aku pun menambah cepat
goyanganku. Suara selangkanganku dan pantat Mbak Vidya beradu terdengar
membahana terpantul dinding rumah yang besar itu. Sementara tanganku terus
menerus meremas-remas tetek Mbak Vidya dengan penuh nafsu, entah apakah Mbak
Vidya merasakan sakit, aku sudah tidak lagi peduli.
Jepitan memek Mbak Vidya yang
belum lama ini masih perawan memang sensasional. Kontolku bagaikan terhimpit
dinding berbentuk silinder yang hangat dan licin. Setiap gerakan kontolku entah
maju entah mundur menyebabkan sedikit rasa ngilu yang menjalar sepanjang batang
kontolku menuju seluruh tubuhku.
Entah berapa lama kami ngentot di
tangga, akhirnya Mbak Vidya duluan orgasme. Dinding memeknya seperti biasa
bagaikan hidup, membuka menutup di sekeliling batangku seakan hendak menghisapi
alat vitalku agar masuk lebih dalam lagi. Beberapa detik kemudian aku merasakan
puncak kenikmatan persenggamaan ini, dengan menggenggam payudara Mbak Vidya keras-keras,
aku mengenyot kuat-kuat punggungnya sambil aku tekan kontolku sejauh yang
kudapat di dalam lubang persenggamaan kakak sepupuku itu dan memuntahkan
spermaku dalam rahim mudanya.
Beberapa saat berlalu kami berdua
melepaskan nafsu birahi, dunia bagaikan berhenti berputar, waktu bagaikan
terdiam sejenak. Seluruh indera kami memusatkan perhatian pada kedua kelamin
kami yang sedang bersatu dan berbagi klimaks.
Tak lama Mbak Vidya selesai
orgasme dan tubuhnya melemah dan bagian depan tubuhnya merosot kebawah,
sementara aku menegakkan badan tanpa melepaskan alat vitalku yang masih
bersarang di dalam lembah kenikmatannya. Sungguh pemandangan indah.
Suara kaki Tante Hani membuat
kami otomatis bergegas merapikan baju kami dan berlari ke kamar agar tidak
ketahuan..
Setelah hari keempat, ada
perubahan pada Tante Hani yang kurasakan, tiap kali aku sedang berdua dengan
Mbak Vidya, Tante Hani menatap kami berdua dengan pandangan aneh, yang menurutku
mirip-mirip dengan pandangan orang yang sedang bercuriga. Apakah Tante Hani
mengendus sesuatu yang aneh dari hubunganku dan anaknya?
Kalau dipikir-pikir, antara Mbak
Vidya dan aku sekarang mesra sekali. Kami selalu berdua kemana-mana. Mbak Vidya
seringkali merangkul lenganku bila berbicara, dan kami tidak risih saling
berbisik-bisik. Jadi, aku semakin yakin bahwa Tante Hani menjadi curiga karena
hubungan aku dan anaknya sudah seperti dua remaja yang sedang jatuh cinta satu
sama lain.
Hal ini aku sampaikan kepada Mbak
Vidya ketika kami berduaan di kamar setelah hari yang kelima aku menginap di
sana, namun Mbak Vidya hanya tertawa saja dan berkata padaku.
“Makanya, kamu otaknya ngeres
melulu sih. Sedikit-sedikit kalau tidak ada orang kamu nyiumin Mbak. Terus
kalau yakin ga bakal ada orang yang ganggu, kamu setubuhi Mbak di tempat, ga
peduli lagi ada di tangga, kamar mandi, ruang makan dan di mana aja. Itulah
sebabnya kamu jadi parno sendiri. Supaya ga parno, kamu coba deh jangan terlalu
nafsu sama Mbak. Masa sama Mbaknya sendiri nafsu?”
“Salah Mbak Vidya sendiri…”
kataku cepat.
“Loh, kok salah Mbak? Kan adek
yang selalu duluan ngajakin Mbak untuk gituan gak pandang tempat dan waktu.”
“Habis Mbak Vidya itu cantik
banget. Kalau dekat begini Ari selalu nafsu. Biar Mbak Vidya pakai baju yang
longgar pun, tapi kalau Ari udah mencium aroma tubuh Mbak Vidya, selalu deh
burung Ari bangun…”
Mbak Vidya tertawa kecil lalu
mendorong kepalaku sambil berkata,
“Dasar lelaki! Biar masih kecil
tapi otaknya ngeres melulu!”
Aku merengutkan mukaku pura-pura
marah, namun kemudian kupeluk tubuhnya dari samping. Saat itu kami sedang
tiduran menghadap langit-langit sambil berbicara. Pelukanku membuat tubuhku
setengah menindih tubuh Mbak Vidya sementara bibirku menyerang bibirnya.
“Tuh, kan……” kata Mbak Vidya
merajuk sesaat sebelum kedua bibir kami bertemu.
Tak lama aku sudah menindih Mbak
Vidya sementara kami berdua asyik menukar ludah dengan kedua lidah kami yang
bergelut dalam rongga-rongga mulut kami. Tiba-tiba saja terdengar panggilan
Tante Hani yang mengajak kami makan siang dan suara itu sudah dekat kamar Mbak
Vidya.
Serta-merta aku menggulingkan
tubuh ke samping dan saat aku duduk di pinggir tempat tidur pintu kamar telah
terbuka. Mbak Vidya tidak secepat aku beraksi. Dia masih berbaring telentang
dan wajah yang terkejut. Untung saja kami belum membuka baju kaos kami.
Benar-benar nyaris ketahuan!
“Lagi ngapain pada?” tanya Tante
Hani. Aku mendengar nada menuduh di kalimat itu, namun Mbak Vidya tampaknya
tidak merasakan yang sama. Mbak Vidya lalu menjawab,
“Biasa, Ma.. lagi ngobrol aja…”
Aku melihat Tante Hani melirik
selangkanganku. Aku saat itu memakai kaos singlet dan celana boxer. Dan baru
kusadari bahwa burungku sedang tegang. Celana boxer itu memperlihatkan batangku
yang panjang dan keras menyembul seakan mau mengeluarkan diri dari kungkungan
celana ketat itu. Parahnya lagi, aku ketahuan hanya memakai baju dalam saja
yaitu Singlet dan celana boxer (bagi yang tidak tahu, celana boxer adalah
celana dalam model celana pendek).
Mbak Vidya memakai kaos you can
see dan celana pendek ketat pula. Bila diperhatikan, maka putingnya terlihat
menembus baju kaosnya itu karena Mbak Vidya tidak pakai BH. Untung saja celana
pendek Mbak Vidya tidak tipis, karena pada saat itu kakak sepupuku itu juga
tidak memakai celana dalam. Bila celananya tipis, tentu akan terlihat bahwa ia
tidak memakai celana dalam.
Tante Hani meninggalkan kamar
dengan alis yang ditekuk. Aku pikir tanteku itu sudah mulai mengendus ketidak
laziman hubungan anaknya dan aku. Sebelum aku dapat membahas ini, Mbak Vidya
sudah mendorongku ke luar kamar dan menyuruhku makan siang duluan. Aku bergegas
ke kamarku untuk memakai celana panjang dan kaos, dan ketika aku sampai di
ruang makan, Mbak Vidya juga sudah memakai celana jins dan kaos longgar.
Setelah makan siang Tante Hani
pergi, katanya ia akan kembali sebelum makan malam. Kesempatan ini segera aku
manfaatkan sebaik-baiknya. Mbak Vidya dan aku main sampai tiga kali sore itu.
Alhasil, ketika makan malam selesai, Mbak Vidya yang kelelahan sudah tidur
duluan. Aku sempat ingin merasakan menyetubuhi perempuan yang sedang tidur,
namun akhirnya aku putuskan untuk ke ruang keluarga untuk menonton TV.
Aku agak terkejut ketika
mendapati Tante Hani sedang menonton TV dengan berbaring di sofa. Kekagetanku
disebabkan pakaian Tante Hani yang seksi sekali. Beliau memakai gaun tidur
tanpa lengan yang panjang roknya berhenti di atas lututnya. Gaun tidur itu
berwarna hitam, namun di beberapa bagian transparan, yaitu pada bagian atas
dadanya dan di bagian perutnya. Bagian atas gaun itu berbentuk setengah
lingkaran, yaitu pada bagian tali lengannya dan bagian atas dadanya. Bagian
atas dada yang terlihat hanya sampai permulaan kedua payudara tanteku itu mulai
meninggi. Berhubung kedua teteknya besar, maka terlihatlah bagian lipatan
dadanya membentuk garis sangat tipis karena himpitan kedua payudara yang besar
itu.
Saat aku memasuki ruang keluarga,
Tante Hani sedang tiduran dengan tangan kirinya diletakan di atas bantal
menyangga kepalanya, sehingga terlihatlah ketiaknya yang putih dan berbeda dari
ibuku, Tante Hani mencukur habis ketiaknya. Bahkan, tidak terlihat ada satu pun
akar rambut di situ. Mungkin Tante Hani mencabuti bulu ketiaknya dengan
teratur, karena tidak ada tanda bekas cukur yang menggelap di sana. Ketiak
Tante Hani benar-benar mulus dan botak. Dengan melihat ini saja, sontak
kejantananku mengeras sampai pol.
“Ari?” tanya tante Hani padaku
sedikit terkejut. “Tumben kamu turun ke sini. Biasanya main sama Mbakmu terus…”
Aku merasakan sedikit ketakutan
ketika Tante Hani mengatakan ‘main’, aku parno apakah ia mengetahui bahwa aku
selama beberapa hari ini terus menggauli anak gadisnya itu?
“Eh…..” kataku sedikit tercekat,”
Mbak Vidya udah tidur. Mungkin capek.”
“Ah… capek gimana?” jawab Tante
Hani,”wong kerjanya makan tidur kalo libur begini. Memang doyan tidur aja
dia..”
Aku duduk di sofa kecil di
samping sofa besar yang ditiduri Tante Hani. Aku lupa pakai celana panjang
tadi, sehingga kini aku hanya memakai celana boxer dan kaos singlet. Berhubung
aku pikir Tante Hani sudah masuk kamarnya sendiri. Tiap kamar ada TV-nya,
sehingga aku tidak menyangka ternyata Tante Hani nonton di ruang keluarga.
Sepanjang jalan dari saat aku
memasuki ruangan hingga aku duduk, aku memperhatikan lekuk tubuh Tante Hani
yang semok. Perutnya buncit, tapi bukan buncit gendut, hanya daerah sekitar
pusar saja yang buncit tanda pernah melahirkan, juga aku memperhatikan ketiaknya
yang putih bagai salju. Lebih putih dari kulit bagian lain. Tidak terlihat
bekas cukur di situ. Bagaikan ia memang tidak memiliki bulu ketiak dari dulu.
Ketika aku sadar aku kurang ajar
dengan menatapi tubuhnya seperti itu, aku segera menatap matanya, yang ternyata
sedang menatap selangkanganku. Memang saat itu burungku sudah tegak, apalagi
karena melihat tubuhnya yang walau memakai gaun tidur, tapi tampak seksi
sekali.
Ketika aku sudah akan duduk, aku
masih menatap matanya yang sedang asyik memperhatikan daerah terlarangku,
barulah ketika aku duduk, mata Tante Hani menatap mataku. Sesaat kami
bertatapan mata, aku melihat tatapannya yang berhiaskan harap, sehingga aku
bukannya takut namun malah memberanikan terus menatap matanya. Aku pernah
melihat tatapan yang sama pada ibuku dan Mbak Vidya, terutama ketika mulai
birahi. Apakah Tante Hani sedang horny?
Setelah sejenak kami bertatapan,
Tante Hani memalingkan mukanya dariku dan menatap TV lagi. Semburat merah
terlihat di wajahnya yang putih. Menurutku, wajah wanita dewasa yang sedang
tersipu seperti tanteku itu menjadikan kecantikannya bertambah seksi.
Kami terdiam selama beberapa
waktu. Entah dua, tiga atau lima menit. Kami asyik dengan pikiran kami sendiri.
Namun kemudian, setelah berdehem, tanteku berkata,
“Ari… tante mau ngomong sama
kamu…. Kamu jangan marah ya….”
Seketika aku lemas. Aku saat itu
berpikiran bahwa mungkin ini adalah saatnya Tante Hani akan memarahi aku karena
hubunganku dengan anaknya. Tante Hani kemungkinan besar sudah tahu jalinan terlarang
antara Mbak Vidya dan aku.
“Begini, Ri. Kamu tau kan Mbakmu
Vidya. Dia itu baru lulus SMA. Rencananya tahun ini dia akan meneruskan kuliah.
Mbakmu itu, remaja anak Jakarta. Pergaulan di Jakarta itu sekarang sudah
modern. Nilai-nilai lama sudah ditinggalkan. Batas kesopanan sudah berbeda
dibanding pada masa Tantemu dan ibumu dulu masih muda.
“Tadi siang Tante lihat kalian
berdua di kamar tidur, memang sih hanya berbicara, namun pakaian kalian itu
tuh. Masak hanya pakai baju dalam saja? Bukannya Tante marah, tapi rasanya ga
pantas dua anak remaja berduaan pakai baju yang minim. Jangan bilang bahwa kamu
sih biasa saja menghadapinya. Wong tante merhatikan burung kamu itu tegang,
kok, waktu di dalam kamar Mbakmu. Sama kayak sekarang, burung kamu tegang lagi.
“Maksud tante, kamu ini sudah
besar. Hal-hal seperti ini kamu sudah mengerti. Buktinya kamu kalau melihat
perempuan pakai baju minim, kamu sudah mempunyai hasrat seksual. Jadi
sebenarnya kamu sudah tahu mengenai hal-hal yang saru. Itu bukan hal yang salah,
dan tante tidak menyalahkan kamu, kok. Jadi kamu jangan sedih dulu (wajahku
sedang memelas saat itu).
“Nah, Mbakmu Vidya itu, mungkin
karena pergaulannya yang modern dengan teman-temannya, maka dia tidak merasa
bahwa apa yang dilakukannya salah. Kamu juga ga salah, karena kamu pun kayaknya
ga tahu bahwa sebenarnya kalian itu ga pantes berduaan dengan hanya baju yang
minim.
“Maksud tante. Mbakmu itu bukan
anak yang polos lagi. Walaupun dia sudah sumpah di depan tante bahwa dia masih
perawan, tapi mengenai hal-hal yang dewasa dia itu juga sudah tahu. Mungkin
Karena pergaulannya, atau mungkin pendidikan, atau dari media informasi.
Seharusnya dia juga tahu bahwa dengan berbaju minim itu, dia mengundang
kelelakian kamu.
“Nah. Kemarin siang Tante lihat
kalian sedang ciuman di ruang makan. Ciumannya hot banget. Pakai lidah segala.
Apakah kamu menyangkal?”
Jantungku berhenti berdetak untuk
beberapa saat. Ternyata kecurigaanku terbukti. Tante telah menyaksikan kami
ciuman! Apakah Tanteku tahu sejauh mana hubunganku dengan Mbak Vidya?
Karena aku belum menjawab, dengan
perlahan Tante Hani bertanya lagi,
“Benar ga kata-kata Tante, Ari?
Kamu dan Mbak Vidyamu itu ciuman, kan?”
Aku hanya mengangguk dan menunggu
semprotan susulan dari tanteku itu.
“Tante minta maaf. Tentu saja
bukan salah kamu. Kamu kan masih kecil. Baru kelas 2 SMP Juli nanti. Tante
minta maaf karena tidak bisa mengontrol anak tante. Dia itu lebih tua, harusnya
lebih tahu. Nah, setelah tante melihat kemesraan kalian itu, Tante menjadi
bertanya-tanya dan berpikir. Kenapa sih Mbak Vidya itu yang katanya masih
perawan malah menggoda adik sepupunya sendiri?
“Tante terus mengingat-ingat masa
lalu. Kalian berdua semenjak kecil memang dekat sekali. Dan memang itu sah-sah
saja. Karena seharusnya kalian menjadi kakak dan adik sebagaimana mestinya.
Tetapi, tante ingat ketika tahun lalu, kamu ini baru mau lulus SD, terakhir
kali kamu dan mamamu menginap di rumah Tante.
“Entah kenapa kalian menjadi
jarang ke sini lagi. Dan ini merubah Mbak Vidyamu. Dia jadi menutup diri di
kamar. Waktu itu tante kira karena dia baru saja putus dari pacarnya. Jadi
tante ga banyak pusing. Tetapi sekarang, ternyata Tante tahu permasalahannya.”
Aku semakin keringat dingin.
Bentar lagi pasti akan pecah nih kemarahan Tanteku.
“Setelah tante pikir-pikir dengan
seksama. Maka, tante menduga bahwa Mbakmu itu sebenarnya jatuh cinta sama kamu.
Itulah kenapa tahun lalu dia tampaknya sedih. Dan itulah kenapa sekarang ketika
kamu nginep di sini lagi, Mbakmu itu merayu kamu. Sampai kalian ciuman. Nah, yang
tante mau tekankan adalah, jangan sampai hubunganmu terlalu jauh dengan Mbakmu.
Kalian berdua ini masih muda. Masih sekolah. Jangan sampai ada sesuatu yang
menghambat perkembangan kalian…”
Pertama-tama aku mendengarkan
dengan penuh perhatian apa yang Tante Hani katakan. Mau ga mau. Karena aku
ketakutan dimarahi, aku menjadi siaga dan mendengarkan penuh apa yang ia
katakan padaku. Tetapi setelah akhirnya aku mendapati bahwa Tanteku itu tidak
marah padaku, pikiranku mulai ngelantur lagi. Mataku bagaikan ditarik oleh
magnet yang tak terlihat dari tubuhnya sehingga mataku bolak-balik
memperhatikan pangkal lengannya yang mulus dan dua buah payudaranya yang besar.
Ketiak yang bersih dan botak bagaikan ketiak anak kecil dan gundukan buah
dadanya mengirimkan sinyal yang tabu kepada naluri kelelakianku.
Tidak kusadari Tante Hani sudah
tidak berbicara lagi. Suasana rumah menjadi hening. Dengan gugup aku memandang
matanya yang saat itu sedang menatap mataku dalam-dalam. Wajah Tante Hani
terlihat aneh. Tidak seperti biasanya. Seperti ada raut kegusaran yang
diselingi oleh suatu ekpresi wajah yang aku tak pernah melihat sebelumnya.
“Tante perhatikan mata kamu
menjelajahi dada dan ketiak Tante,” kata Tanteku dengan suara yang perlahan
namun seakan menusuk jantungku,”memang ada apa dengan dada dan ketiak Tante?”
Dadaku berdebar tidak karuan.
Mataku yang jelalatan sudah tertangkap basah. Aku bingung harus bilang apa
kepada Tanteku itu. Aku menelan ludah dan berkata,
“eeee…… Tan…. Tan…. Tante
cantiiiik….”
Tante Hani terdiam sebentar lalu
berkata agak lirih,
“Tante cantik? Tante yang sudah
tua dan gendut ini? Mbak Vidya kamu itu yang cantik. Muda. Badannya masih
seksi, kan?”
Membahas ini bagaikan sesuatu
yang normal menambahkan keberanianku untuk berbicara. Mungkin aku bisa merubah
semua ini menjadi keuntungan bagi diriku sendiri.
“Mbak Vidya memang cantik. Tapi
Tante ju… juga cantik. Tante memiliki kematangan. Apalagi da… dada Tante itu
jauh lebih eee….. berisi daripada Mbak Vidya…” kataku sedikit terbata.
“tapi kenapa kamu juga
memperhatikan ketiak Tante?”
“Ga tahu tante. Ari su… suka aja
melihat ketiak Tante yang bersih tanpa bu.. bulu.”
“Masa sih? Mana ada lelaki yang
suka sama ketiak? Oom kamu aja ga pernah melihat ketiak Tante seperti ini. Kamu
sebenarnya jijik ya ngelihat tante buka ketiak seperti ini? Biar tante tutup
tangan Tante.”
Tante Hani beringsut mengangkat
kepalanya yang tadi menindih tangannya. Aku melihat kesempatan untuk menyentuh
wanita setengah baya yang bohai ini, maka aku buru-buru memegang lengan
bawahnya tepat di bawah siku sambil belagak panik sambil berkata,
“Jangan Tante! Biarin aja.”
Tante Hani tampak kaget dan tidak
tahu harus berbuat apa. Ia terdiam saja melihatku yang tadi duduk di sofa kecil
di samping sofa besarnya itu kini sudah bergerak cepat menahan tangannya
sehingga posisiku kini berlutut dihadapannya sambil memegang lengan kirinya
itu.
Mataku terpaku kepada ketiaknya
yang putih bersih itu. Pengalamanku dengan dua perempuan sebelumnya yang
memiliki rambut ketiak menjadikan aku penasaran juga dengan perempuan yang
mencukur bulu ketiaknya sehingga bersih. Apalagi aroma tubuh Tante Hani
menambahkan daya erotisnya.
“Kalo… kalo boleh Ari mau lihat ketiak
Tante lebih lama…” kataku perlahan.
Tante Hani tampak seperti
berpikir ketika aku melirik wajahnya sebentar sebelum aku menatap lagi
ketiaknya. Kusadari nafasnya kini mulai agak berat. Lalu Tante Hani berkata,
“Apa betul, Ri? Ga bohong? Memang
sih kamu melihati terus ketek Tante kayaknya kamu suka. Tapi kamu masih melihat
dari jauh. Tante masih ga percaya kamu suka sama ketiak Tante yang bau ini.
Pasti kamu muak mencium bau ketiak Tante. Apalagi sore tadi Tante lupa mandi.
Habis, mikirin kalian berdua sih.”
Ini kesempatan kedua, pikirku.
Aku sekilas ingat bahwa Tanteku sedang ada permasalahan dengan Oomku. Ada
kemungkinan sudah lama dia tidak disentuh laki-laki. Dalam sepersekian detik
aku telah memutuskan tindakanku selanjutnya.
Dengan gerakan kilat, aku
membenamkan hidungku di ketiak kirinya itu. Aroma Tanteku mirip dengan aroma
tubuh Ibuku. Tetapi masih ada perbedaannya. Aroma tubuh tanteku tidak setajam
Ibu melainkan sedikit halus dihidungku. Lebih mirip dengan aroma Mbak Vidya.
Tante Hani mengeluarkan pekik
kecil dan mendorong kepalaku dengan tangan kanannya. Katanya tegas,
“Ari! Apa yang kamu lakukan?”
“Tante kan tidak percaya sama
Ari,” kataku sambil menggunakan tangan kiriku menolak tangan kanan Tante Hani,”
makanya mau Ari buktikan. Bau tubuh Tante Hani sangat wangi bagi Ari. Wangi
banget, Tan.”
Lalu kembali aku membenamkan
hidungku di ketiaknya. Kurasakan perlawanan di tangan kanan Tante Hani, namun
aku terus menahan tangan itu dengan tangan kiriku. Beberapa saat aku menghirup
aroma ketiak kiri Tante Hani sebelum akhirnya aku menjilati ketiak yang bersih
itu.”
“Ahhhhhhh” desah Tanteku. Kini
tangan kanannya berhasil mengalahkan tangan kananku. Berhubung aku masih anak
bau kencur dan ia sudah dewasa. Tangan kanan itu tiba-tiba saja menjambak rambutku.
Aku bersiap menahan sakit saat ia menjambak rambutku menjauh dari ketiaknya,
tetapi ia hanya meremas saja tanpa menarik kepalaku. Sepertinya ini lampu
hijau.
Sambil menjilati ketiaknya, aku
menatap wajah Tante Hani. Ia sedang menatapku. Wajahnya penuh kekagetan dengan
mulut menganga. Kami bertatapan lama juga. Ia memperhatikanku menjilati
ketiaknya yang asin dan hangat. Tidak ada satu patah katapun keluar dari
mulutnya. Aku mulai mengenyot keteknya, dari ujung bawah sampai ujung atas.
Terkadang bahkan bagian bawah lengannya ikut tersapu juga oleh mulutku.
Mungkin ada sekitar lima menit
aku menyelomoti ketiaknya. Aku tak yakin. Aku tidak memperhatikan jam dinding.
Kemudian aku mulai meneruskan menjilat dan mengenyoti ke atas yaitu bagian bahu
kirinya. Ketika pipiku menyentuh dagunya, aku segera mematuk mulutnya yang
terbuka dengan mulutku.
Ketika bibirku menyentuh
bibirnya, secara otomatis Tante Hani mengatupkan bibirnya, saat itu bibir
bawahku tepat diantara kedua bibirnya, sehingga saat bibirnya menutup, bibir
atas Tante Hani langsung aku kenyot dengan kedua bibirku.
Tante Hani memalingkan wajahnya
ke arah punggung sofa sehingga bibir kami berpisah. Ia berkata lirih,
“Ari…. Kamu mau ngapain sih?
Jangan…..”
Tangan kiriku yang memegang
tangan kanannya dan juga tangan kananku yang menahan lengan kirinya tidak
mendapatkan perlawan sama sekali. Aku menatap wajahnya. Wajah Tante Hani kini
berpaling kembali ke arah wajahku dan menatapku dengan mata membelalak.
Aku sempat bingung. Tante Hani
bilang tidak mau, tapi badannya tidak melawanku. Ia tidak mendorong tubuhku.
Kalau dia mau, dia mampu melawanku seperti yang tadi ia perlihatkan. Tapi kini
tidak ada perlawanan darinya.
Aku mencium bibirnya lagi.
Kembali Tante Hani memalingkan wajahnya dan berkata,
“Ari! Aku ini tantemu!”
Kucium lagi. Dan kembali ia
menolak sambil berkata,
“Ari! Jangan kurang ajar ya! ini
Tantemu!”
Aku terus mencoba mencium bibir
Tante Hani tapi berulang kali ia memalingkan wajah dan memohon agar aku
menghentikan aksiku ini. Setelah sekitar dua menit, ketika ia memalingkan wajah
ke sekian kalinya, aku meneruskan ciumanku ke pipinya.
“Ari….. jangan dong…. Ini kan
incest….. hentikan Ari!”
Lucunya Tante Hani berkata tanpa
berteriak dan tanpa melawan. Aku pikir Tanteku ini orangnya sangat menjaga
image. Ia tidak mau terlihat seperti wanita murahan, namun sebenarnya ia
menyukainya. Namun melakukannya di sofa membuatku tidak leluasa. Maka aku
berkata,
“Tante…. Tidur yuk, Ari sudah
ngantuk nih…..” lalu aku berdiri. Tante Hani terdiam beberapa saat sambil
beberapa kali menghela nafas. Lalu ia beranjak dari sofa lalu berjalan ke
kamarnya. Aku mengikutinya.
Ketika Tante Hani masuk, ia
menutup pintu sebelum aku masuk, namun ia menutupnya dengan lambat sekali
sehingga aku berhasil menyelusup masuk.
Tante Hani menunjukkan wajah
kaget, katanya,
“Ari! Kamu ngapain di kamar
Tante? Tante mau tidur.”
Aku menutup pintu sambil berkata,
“Tidur aja Tante. Ari juga
ngantuk mau tidur.”
“Ya udah kamu tidur di kamar
kamu. Kamu ga boleh di sini.”
Ketika aku membalikkan badan
kulihat Tante Hani sudah berjalan ke tempat tidur lalu merebahkan dirinya di
tempat tidurnya yang besar setelah mendorong bed cover dengan kakinya sehingga
kini ia tidur tanpa berselimut.
Aku cepat-cepat membuka bajuku
hingga telanjang. Tante Hani kulihat memalingkan wajah ke arah berlawanan. Tak
lama aku duduk di samping tempat tidur tepat di sebelah Tante Hani. Tante Hani
menoleh kepadaku,
“Ari! Keluar! Tante mau tidur.”
Suara tanteku itu bernada teguran, namun tidak berteriak. Aku perlahan
menindihnya. Tante berkata lagi,” Ari! Jangan kurang ajar sama Tante!”
Kedua tangannya menolak pelan
bahuku, kupegang tangannya lalu aku menahan tangannya di samping kedua
kepalanya. Barulah kemudian dadaku menindih dadanya yang besar dan kenyal.
“Tante mau diapain Ari? Hentikan,
Ari! Jangan kurang ajar!” kini suaranya lebih pelan, walau ada penekanan di
kata-katanya bagaikan orang yang benar-benar marah. Baru kali ini aku dengar
ada orang yang marah dengan suara pelan.
Aku cium bibirnya. Tante Hani
tidak memalingkan wajahnya melainkan menutup mulutnya rapat-rapat sambil
menggeleng-geleng kecil sambil menggumam seakan menolak. Kedua tanganku
melepaskan pegangan pada tangannya lalu menahan kepalanya agar aku leluasa
mencium bibirnya. Kedua tangannya gantian memegang pergelangan tanganku,
mendorong tanganku pelan sambil sesekali menampar tanganku, ingin menunjukkan
perlawanan. Tapi sebenarnya perlawanan pura-pura saja.
Kini kepalanya tak dapat
bergerak. Barulah Tante Hani mulai berbicara lagi, namun kini membuat mulutnya
terbuka sehingga lidahku dapat masuk ke mulutnya.
“Ari..mmmphhhh….
hentikan….mmmphhhh…… Ari…..mmpmmp sudahhhh…..mmmmphhhh”
Tiap kali ia berbicara, lidah
kami bergesekkan dan tiap kali dia menggumam mmmppphhh sebenarnya Tante Hani
mengenyot balik. Apalagi kini tangannya ikut aktif mendorong tanganku dan
menampar tanganku. Walaupun hanya perlahan, tetapi anehnya membuat libidoku
bangkit secara cepat sekali.
Aku yang selama kami bergulat
merasakan kekenyalan tubuhnya, segera duduk di samping tubuhnya, lalu menarik
dasternya ke atas badannya. Posisi Tante Hani tiduran telentang, sehingga susah
membukanya. Namun, Tante Hani bergeliat-geliat di saat yang tepat sehingga
sebenarnya membantuku dalam usaha membuka dasternya itu. Ketika dasternya
berada di bawah pantatnya ia bergeliat dengan mengangkat pantat itu sambil
terus mengoceh.
“Kamu mau apa Ari? Mau perkosa
Tante? Jangan Ri! Tolong Ri! Hentikan!”
Selang semenitan lebih daster itu
sudah kubuang ke lantai. Kedua teteknya bagaikan buah kelapa besarnya. Kalau
ibu bagai kelapa yang diparut, kalo Tanteku ini bagaikan kelapa yang belum
diparut. Namun bentuknya bulat dan kokoh. Hanya saja karena usia dan pernah
melahirkan, payudaranya sedikit turun dan puting yang sedikit tertunduk ke
bawah. Namun melihat ukurannya yang besar, sungguh bisa disebut tobrut!
Tante Hani tidak menutup kedua
dadanya yang besar sama sekali melainkan ia malah menutup celana dalamnya
sambil berkata,
“Jangan dibuka celana dalam ini,
Ri! Tante ga mau!”
Melihat perilaku seperti ini,
malah aku mengerti maksud Tanteku agar melorotkan CDnya. Maka aku segera
menarik CDnya yang putih itu. Tante menggeliat lagi saat CD itu melewati
pantatnya. Dan tak lama CD itu menemani daster Tante Hani di lantai. Aku tidak
mau daster itu kesepian. Hehehehe.
Tante Hani mengangkang, namun
dengan kedua tangan menutupi selangkangannya. Aku duduk di bawah selangkangan
itu. Lalu aku tarik kedua tangan Tante Hani yang hanya memberikan perlawanan
setengah hati sehingga membebaskan mataku melihat Vagina Tante Hani yang juga
tidak memiliki rambut sama sekali! Licin bagaikan pualam. Sementara, kulihat
memek Tante sudah basah oleh cairan kewanitaanya sendiri. Bau tubuh Tante Hani
kini menguasai udara kamar.
Tak lama aku mulai menjilati
memeknya yang indah itu. Memek itu berbeda dengan memek ibuku. Memek Tante Hani
memiliki bibir luar yang lebih tipis dan bibir dalam yang tebal sehingga terlihat.
Cairan kewanitaannya pun tampak lebih banyak dari ibu maupun Mbak Vidya. Baru
sebentar saja, mulutku sudah kebanjiran cairan. Tubuh bohai Tante Hani
menggelinjang terus bahkan ia mendorong selangkangannya agar menekan mulutku
sementara kini kedua tangannya sudah menjambak rambutku sambil menarik kepalaku
agar lebih menekan selangkangannya. Anehnya, sepanjang kami bergumul ia tetap
mengutarakan penolakannya padaku,
“Jangan jilati memek Tante, Ri!
Tante bukan Mbak Vidyamu! Tante bukan budak seks kamu! Tante bukan Mama kamu,
perempuan jalang yang tidur sama anaknya sendiri!”
Untuk sejenak aku kaget. Ternyata
Tante Hani ini pintar. Ia tahu segalanya. Ibuku tak mungkin menceritakan aib
kami, pasti Tante Hani curiga dari telpon nikmat yang dulu ibuku dan aku
lakukan ketika kami bersetubuh saat ibu telponan dengan Tante Hani! Dan mengenai
aku dan Mbak Vidya, dia pasti pernah melihat kami ngentot di rumah ini.
Ketika Tante Hani orgasme, cairan
kewanitaanya bagai menyemprot keluar. Pengalaman baru bagiku. Ibu dan Mbak
Vidya tidak sampai sebegininya. Orgasme Tante Hani terjadi beberapa saat,
sekitar satu menit sampai akhirnya ia dengan lemas memejamkan matanya. Tubuhnya
tak bergerak selama beberapa saat.
Aku dengan sigap segera
memposisikan kontolku di lubang vagina Tante Hani, dan dengan sentakan keras
aku mendorong masuk kontolku hingga dalam satu tusukkan seluruh penisku
terbenam dalam rongga memek Tanteku itu. Walaupun lorong kencing Tante Hani
tidak sesempit Mbak Vidya, namun ternyata masih sedikit lebih kencang dari
memek Ibuku. Sungguh nikmat rasanya kemaluanku dijepit dinding kemaluan Tanteku
itu.
Tante Hani membuka mata dan
menatapku sambil berkata lirih,
“Ari! Kenapa kamu masukkin? Kamu
sudah memperkosa Tante! Hentikan, Ri!”
Aku menindihnya lagi, Tante Hani
memeluk kedua pantatku. Aku menekuk sedikit kepalaku dan dengan bantuan
tanganku aku memegang payudara besar Tante Hani lalu menyedotinya dengan rakus
sementara tangan yang satu asyik meremasi yang sebelah. Sungguh berbeda rasanya
menetek pada perempuan berpayudara jumbo. Empuk, kenyal dan luas sekali.
Apalagi saat meremasnya, payudaranya seakan tak ada habis-habisnya!
Kedua kaki Tante Hani menjepit
pantatku dan kedua tangannya seirama dengan tusukan-tusukanku terhadap organ
intim kewanitaannya. Tubuh Tante Hani yang semok dan bohai sungguh enak di
tindih. Empuk sekali. Aku bagaikan orang gila menyedot menghisap kedua buah
payudara jumbo milik Tante Hani sehingga tak lama hampir keseluruhan dada Tante
Hani sudah basah oleh ludahku dan terhias cupangan penuh nafsu di sana-sini.
Sementara mulut Tante Hani terus meracau,
“Bajingan kamu Ri! Kamu sudah
menggagahi Tantemu sendiri! Dasar bocah cabul! Bocah mesum! Kamu suka
mengentoti keluarga sendiri! Tante tahu waktu kamu pertama sampai di sini,
pasti kamu juga menggagahi ibu kamu waktu di jalan, kan? Bau memek ibu kamu
Tante sudah hafal. Waktu itu bau memek ibu kamu keras sekali tercium, apalagi
ada bau peju laki-laki. Pasti kamu ngecrot di dalam rahim ibu kamu, kan?
“Tante duga pasti bayi yang ada
di perut ibu kamu adalah anak kamu. Dasar kamu bocah ngeres otaknya! Kamu
menghamili ibu kamu sendiri! Kemarin saja Mbak Vidya kamu paksa ngentot di
tangga. Tante lihat kamu menikmati menyemprot pejumu di dalam tubuh Mbakmu.
Pasti kamu mau menghamili dia juga, kan? Dasar bocah gendeng! Bocah edan!
“Sekarang kamu ngentotin Tantemu
ini tanpa perlindungan apapun. Tanpa kondom. Tante juga ga pake kontrasepsi.
Kontol kamu yang telanjang itu masuk dan menerobos memek Tante yang tidak
terlindungi. Kalau kamu ejakulasi di dalam memek Tante, pejumu akan menyirami
rahim Tante yang subur. Kamu pasti akan bikin Tante hamil. Tante mohon, jangan
hamili Tante, Ri. Tante ga mau kamu hamili. Please Ri.”
Aku mendengar ocehan Tanteku
semakin bersemangat. Entotanku semakin cepat dan kuat. Tante Hani pun tampaknya
juga semakin hot. Goyangannya makin hebat saja. Bahkan ia mengatur bantalnya
agak tinggi sehingga tubuh atasnya agak menekuk. Lalu tanpa malu ia menarik
kepalaku lalu merunduk lalu mencium bibirku dengan buas.
Kami berciuman secara liar. Dapat
kurasakan air liur Tante Hani kadang memerciki dagu dan hidungku. Hebatnya ia
menciumiku sambil terus mengoceh di sela-sela ciuman,
“hmmmppp….. kamu…..hmmmmphh….
bajingan…………….hmmmpppphh… kamu suka……hmmmmphhh…..hmmmphhhh…. ngentotin
hmmmphhhh…. hmmmppphh Tante?…. hmmmphhh……hmpphhh…….hmpmmmphhh….. puas?
Hmmmphhhhh……”
Lama kelamaan orgasme kami
mendekat, dan kini ocehan Tante sudah tidak terdengar lagi. Karena kini kami
asyik melumat bibir kami masing-masing. Malah terkadang kami asyik menjilati
wajah satu sama lain. Semakin dekat orgasme kami, kami sudah tidak lagi berciuman,
tapi saling menjilati. Kami bagai dua ekor anjing yang sedang birahi saja.
Berhubung aku lelaki. Saat-saat
terakhir aku menekap kepala Tante Hani dan menjilati seluruh wajahnya. Jidat,
mata, pelipis, pipi, dagu, hidung, kuping Tante Hani tidak ada satu sentipun
yang tidak kujilat. Bahkan lubang kuping dan lubang hidungnya juga aku jilati
sejauh yang lidahku dapat capai.
Ketika orgasme kami sudah di
depan pintu, kami memalingkan muka kami ke kiri dan kanan sehingga lidah kami
kini menempel bagian atas dengan bagian atas, dan sekuat tenaga kami saling
menekan lidah kami untuk mengecap lidah satu sama lain dengan sangat kuat
sementara bibir kami saling menghisap. Di saat itulah aku membenamkan kontolku
sedalam-dalamnya dan memuntahkan pejuku sejauh mungkin ke dalam perut Tanteku.
Dan sedetik kemudian kurasakan cairan memek Tanteku menyembur pula diiringi
dinding kemaluan Tanteku membuka menutup, memijat sekujur batang penisku yang
sedang ejakulasi.
Aku ambruk di atas tubuh Tante
setelah mengalami orgasme hebat. Tanteku memelukku dan membelai kepalaku dengan
tangan kirinya. Kedua tubuh kami penuh berkeringat, sementara dari memeknya,
pejuku memenuhi memeknya sehingga ada sebagian kecil yang luber keluar. Lidah
Tante Hani masih menjilat-jilat pelan lidahku.
Setelah beberapa saat, aku mulai
tersadar lagi. Kontolku sudah lepas dari memeknya dan aku beringsut ke samping
kiri badannya. Kami berhadapan menyamping, sementara lidah kami saling menjilat
perlahan. Tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kami saling
berpelukan erat mencampurkan keringat dan ludah.
Ku angkat tangan kanannya dan
kujilati lagi. Bau ketek ini sudah sangat santer tercium karena Tante Hani
keringatan bagaikan mandi saja. Tak lama kontolku keras lagi. Tante Hani kini
mendorong badanku lalu menduduki selangkanganku. Ia mengangkat pantatnya sambil
tangan kanannya memegang kontolku, ia mengarahkan kontolku di lubang memeknya
yang basah itu, lalu mendudukiku lagi. Kontolku amblas lagi di dalam
kemaluannya.
Gantian Tante Hani menindihku.
Namun ia menggunakan kedua tangannya untuk menjadi tumpuan sehingga tidak
seluruh berat tubuhnya menindihku. Kemudian ia mulai bergoyang perlahan. Ronde
kedua kami tidak seliar ronde pertama. Kami berciuman perlahan, sama perlahan
dengan gerakan pantat Tante Hani. Ini baru bercinta. Bukan ngentot.
Sepanjang persetubuhan kami, kami
berciuman. Tante Hani mulai bicara lagi kini dengan suara yang berbisik.
“Kontolmu enak banget, Ri. Lebih
gede dari punya Om-mu.”
“Memek Tante legit dan sempit.
Lebih sempit dari Memek Ibu,”jawabku.
Kurasakan tubuhnya yang basah dan
semok menempel di tubuhku. Keringat Tante Hani yang mengucur membuat tubuhnya
makin licin saja. Kedua tanganku mengusap punggungnya yang agak lebar dan halus
itu. Kami terus berciuman sambil berbicara.
“Tante ketagihan kontol kamu,
keponakanku.”
“Ari ketagihan Tante. Ga hanya
memek Tante yang sempit. Semua dari Tante Ari suka. Keringat Tante, ludah
Tante, Tetek Tante, Ketek Tante, wajah Tante yang cantik, tubuh Tante yang
bohai. Semuanya. Semuanya.”
“Tante jatuh cinta sama kamu.
Sama kayak Mbak Vidyamu.”
“Ari juga. Tante jadi isteri Ari
saja….”
“Sekarang kan Tante lagi jadi
isteri Ari. Hanya suami yang boleh masukkin kontolnya ke dalam memek seorang
perempuan. Saat ini Tante adalah isteri kamu, sayangku…”
Sebenarnya maksudku adalah
menikah secara sah. Namun tampaknya Tanteku ini salah duga. Biarlah, toh aku
anak kecil yang tidak terlalu ditanggapi secara serius oleh orang dewasa. Tapi,
aku sudah punya rencana ke depannya. Biarlah nanti waktu yang memutuskan. Untuk
saat itu, aku hanya menjawab dengan bercinta dengan Tanteku sampai pagi. Hari
itu aku empat kali ejakulasi ke dalam rahim Tanteku.
Paginya aku tidur di kamar tamu.
Masih banyak keraguan dariku sebelum aku tidur pulas pagi itu. Bagaimana dengan
ibu dan Mbak Vidya? Apa yang akan terjadi? Biarlah waktu yang berbicara.

"Agen poker terbesar dan terpercaya ARENADOMINO.
ReplyDeleteminimal depo dan wd cuma 20 ribu
dengan 1 userid sudah bisa bermain 9 games
ayo mampir kemari ke Website Kami ya www.arenadomino.com
Wa :+855964967353
Line : arena_01
WeChat : arenadomino
Yahoo! : arenadomino"