Pergaulan pabrik dalam hal sex
lebih berani daripada ‘anak gaul’ di perkotaan. Aku sebagai pengawas
kadang-kadang ingin juga menikmati keringat anak buahku yang tidak kenal
parfum. Hanya saja aku kuatir tidak dapat bertindak adil kepada seluruh
karyawan/ti, kalau saja perhatian dan penilaianku bukan berdasarkan pekerjaan
malah berdasarkan bisa atau tidaknya ‘dipakai’.
Lagian aku tidak mau dimanfaatkan
oleh bawahanku hanya karena mencicipi kenikmatan sesaat. Jadi aku hanya dapat
melihat pergaulan anak buahku yang rata-rata berani. Di depan umum saja
seenaknya main tepuk pantat karyawati yang bahenol, bagaimana kalau di tempat
tersembunyi? Entah, sudah beberapa pasang anak buahku yang menikah karena
‘kecelakaan’, dan entah sudah berapa pasang yang disidang oleh security karena
tertangkap ‘mojok’. Tapi dari sekian ratus karyawati ada seorang yang menjadi
primadona, namanya sebut saja Linda (nama samaran).
Belum lama jadi karyawati, pernah
berkerja sebagai kasir di NAGA swalayan, pendidikannya termasuk lumayan untuk
ukuran buruh yaitu SMEA, wajahnya sepintas mirip Iis Dahlia penyanyi dangdut
kenamaan (Kenal nggak..?). Pokoknya cantik, hidungnya mancung, bibirnya sensual
dan berkumis halus. Alis matanya tebal rapih tanpa cukuran, rambutnya hitam
sebahu, kulitnya putih mulus, dadanya perkiraanku 36B. Cuma sayangnya pantatnya
kurang bahenol, meskipun pinggangnya ramping, tapi justru berdasarkan
pengalamanku pantat yang model begini yang dapat memberikan kepuasan maksimal
dalam persetubuhan. Biasanya yang pantatnya bahenol cuma enak dipandang tapi
kurang sip untuk dinikmati. Linda orangnya tidak sombong dan mudah bergaul
dengan siapa saja, murah senyum, dan kelihatannya ‘jinak’.
Gaya bicaranya seperti menggoda.
Aku sendiri setelah berpikir panjang akhirnya mengambil keputusan untuk
mendekatinya. Pendekatan pertama waktu jam istirahat. Kebetulan dia sedang
makan di kantin, dan hanya ada beberapa orang saja yang makan di situ (mungkin
harganya mahal, sehingga sebagian besar karyawan/ti makannya di luar pabrik).
“Mari makan, Pak..!” Linda langsung berbasa-basi ketika aku datang. “Terima
kasih..,” aku menjawab tawarannya dan langsung memesan makanan dan minuman.
Kami terlibat dalam obrolan yang mengasyikan sampai tak terasa jam istirahat
berakhir. Aku membayarkan semua makanan termasuk teman-teman Linda (yang begini
aku sudah biasa, jadi teman-teman Linda tak curiga sedikitpun bahwa aku ada
maksud tertentu). Ternyata makan siang itu adalah awal dari segalanya. Aku jadi
sering ‘sengaja’ makan siang di kantin supaya dapat memandang wajahnya yang
cantik.
Dan pada pertemuan yang kesekian
kalinya aku mencoba mengajaknya makan di luar. Ternyata dia ok saja, bahkan
waktu aku tawarkan untuk menjemput di rumahnya, dia malah tidak mau, dan minta
dijemput di tempat yang dia tentukan. Wah, aku sih tambah senang jadi tidak
‘terikat’. Sore itu sepulang jam kerja, aku menemuinya di tempat yang telah
dijanjikan. Ternyata dia sudah ada di sana. Penampilannya kali ini jauh berbeda
dengan penampilannya saat kerja. Jeans dan kaos ketat yang dipakainya membuat
jakunku naik-turun. Bagaimana tidak? Buah dadanya yang memang besar seperti mau
loncat dari dadanya. Sepanjang perjalanan aku tak dapat berkonsentrasi
menyetir. Pikiranku dipenuhi dengan ‘permainan’ seks yang akan kami lakukan,
serta kenikmatan yang sebentar lagi kurasakan.
Tapi aku juga agak takut bila dia
menolak. Akhirnya aku belokkan mobilku ke arah rumah makan Kalasan untuk
pendekatan lebih dalam. Kami mengobrol tak tentu arah bagai sepasang kekasih.
Juga tentang ekonomi keluarganya yang morat-marit sejak ditinggal pergi
ayahnya. Bahkan selesai makan dan aku membayar Rp 80.000,- dia agak terkejut.
“Wah, sayang banget, Pak..! Makan begitu saja 80.000…” “Memangnya kenapa..?”
aku balik bertanya. “Ah, nggak sih. Saya jadi ingat adik saya yang belum bayar
SPP 3 bulan.” Aku baru mengerti bahwa meskipun dia tidak kentara seperti orang
susah, tapi sesungguhnya dia amat tersiksa dengan jerat kemiskinan yang
dialaminya. Aku jadi tergugah mendengarnya. “Memang berapa SPP adik kamu
sebulan..?” “40.000” jawabnya pendek. Aku keluarkan dompetku dan memberikan Rp
200.000,- “Nih, untuk bayar SPP adik kamu.” “Nggak usah, Pak..!” dia bersikeras
menolak.
Aku sedikit memaksanya dan
akhirnya dia menerima. “Tapi, Bapak Ikhlas dan tanpa pamrih..?” “Iya..,”
meskipun ada sedikit pamrih, kan tidak mungkin aku ungkapkan, batinku dalam
hati. Setelah makan, Aku mengajaknya ke pantai dan duduk berdua ditemani riak
gelombang dan semilir angin yang menerpa wajah kami. “Lin, kalau sedang berdua
begini, kamu jangan panggil ‘Bapak’. Panggil aja ‘Kakak’, ok..?” “Eh, ya Pak.
Eh.. ya Kak.” Aku melingkari tanganku di pundaknya, dia tampak sedikit grogi.
“Jangan Kak, Linda malu..,” tangannya berusaha menepis tanganku. “Tidak
mengapa, kan nggak ada orang.” “Tidak! Linda tidak mau.” Aku mengalah dan hanya
mengobrol saja. “Memangnya kamu belum pernah pacaran..?” tanyaku. “Sudah, tapi
belum pernah sedikitpun Linda bersentuhan dengan pacar Linda.” Aku menangguk
mengerti.
Berarti gadis ini masih suci,
otak iblisku langsung berfikir keras. “Sebentar ya, Lin. Kakak mau cari minuman
dulu.” Aku beranjak, dan membeli 2 kaleng sprite di counter-counter yang banyak
bertebaran di pinggir pantai. Kukeluarkan serbuk perangsang yang kusiapkan dari
rumah, dan kutaburkan di minumannya. “Lin, ini minumannya..,” aku menawarkan.
Tanpa curiga sedikitpun Linda langsung meminumnya. Aku tersenyum dalam hati.
Tak lama reaksinya mulai kelihatan. Aku lihat tubuhnya berkeringat. “Kak,
kepala Linda agak pusing. Pulang yuk..!” “Baru jam 07:00, ntar aja yah..?”
Linda semakin banyak meminum sprite yang sudah kutaburkan serbuk, dan mungkin
akibat terlalu banyak Linda tak sadarkan diri.
Aku sedikit panik. Aku segera
memapahnya ke Cottage terdekat. Aku diam sejenak memikirkan apa yang harus
kulakukan. Mumpung dia tak sadar, aku segera melepaskan kaos ketat yang
dipakainya. Tampak branya sudah tak cukup menampung buah dadanya yang besar dan
putih. Bulu ketiaknya sangat lebat dan hitam, kontras dengan kulitnya yang
putih. Nafasku semakin memburu terbawa nafsu. Kulumat bibirnya yang sensual,
kuciumi lehernya, kupingnya dan seluruh tubuhnya hingga Linda bugil tanpa
sehelai benang pun melekat pada tubuhnya. Sambil melepas pakaianku sendiri, aku
memandangi keindahan tubuhnya, terutama buah dadanya dan kemaluannya yang amat
rimbun. Setelah sama-sama bugil, aku kembali mencumbunya, meskipun dia belum
siuman dan seperti orang mati tapi aku tak perduli. Kugunakan kesempatan ini
dengan sebaik-baiknya. Putingnya yang kemerahan kulumat dengan rakusnya,
kuhisap dalam-dalam.
Lidahku menari-nari menelusuri
keindahan lekuk-lekuk tubuhnya. Aroma ketiaknya yang khas tanpa parfum pun tak
luput dari ciumanku, sampai pada lipatan pahanya yang penuh dengan hutan
rimbun. Lidahku menyibak rerumputannya, dan tampak segaris kemaluannya yang
kelihatannya masih rapat. Lidahku terus mencar-cari klitorisnya. Setelah
ketemu, lidahku mengitarinya dan kadang menghisap lembut, sampai aku sendiri
sudah tak tahan dan dengan kuat kuhisap klitorisnya. Aku terkejut. Ternyata
rambutku tiba-tiba ada yang meremas kuat. “Ahhh.., terus Kak..!” Linda ternyata
sudah siuman dan mulai merasa keenakan. Aku semakin semangat. Jari-jariku
langsung bergerak ke arah buah dadanya dan kupilin-pilin kedua putingnya,
sementara lidahku semakin asyik mendorong untuk masuk ke liang kemaluannya.
Tapi sungguh sulit sekali
rasanya. Kemaluannya sama sekali tidak ada lubang. Linda semakin merintih tidak
karuan. Secara reflek tangannya mencari pegangan. Kuarahkan senjataku yang
sudah meregang kaku ke jarinya, dan Linda dengan kuatnya menarik senjataku. Aku
merasakan kenikmatan. Percumbuan kami kian panas. Lumatan bibirku di bibirnya
disambut dengan rakusnya. Sepertinya Linda benar-benar terpengaruh kuat oleh
obat yang kuberikan. Bahkan dia sudah mengangkangkan pahanya dan membimbing
senjataku untuk memasuki lembahnya, dan menarik pinggulku agar senjataku
terdorong. Tapi aku mencoba menahannya karena aku yakin Linda masih dalam
pengaruh obat. Aku menarik nafas panjang dan menenangkan debar jantungku. Linda
terus memaksa… Aku semakin bimbang. Bagaimanapun juga aku masih punya nurani.
Aku tak mau merusak kegadisan
orang, apalagi sampai merusak masa depannya. Aku kuatkan hati dan bangkit dari
lingkaran nafsu yang telah membelenggu kami berdua. Aku ambil air segayung dan
menyiram kepalaku dan kepala Linda. Nafsuku yang sudah memuncak langsung drop,
dan Linda sendiri kelihatannya mulai sadar, dan menutupi seluruh tubuhnya
dengan selimut. “Oh, apa yang terjadi..?” Linda panik, bangkit dan memukul
dadaku. Aku mencoba bersabar. “Kakak jahat..” Linda semakin kencang memukulku,
aku merangkul tubuhnya. “Sabar sayang, semua belum terjadi.” “Tapi tubuh Linda
sudah kotor. Kakak kejam menjebak Linda.” “Siapa yang menjebak Linda?” Setelah
suasana agak reda, aku baru menjelaskan kepadanya (tentunya berbohong) bahwa
semua yang terjadi adalah kehendak dia sendiri yang memancing gairahku.
Bahkan aku malah yang menolaknya,
dan memang Linda dalam keadaan setengah sadar dan seperti bermimpi juga
mengiyakan bahwa aku yang menolaknya. Sejak kejadian itu Linda semakin akrab
denganku. Meskipun akhirnya dia tahu bahwa aku sudah mempunyai pacar yang sudah
seperti istri, tapi dia tidak dapat melupakanku karena aku yang pertama
menjamah tubuhnya. Ternyata aku orangnya gampang jatuh cinta, tapi gampang juga
bosan.
Hubungan yang semakin erat dengan
Linda dan hanya sebatas (maksimal) oral, membuatku jenuh, sementara untuk
bertindak lebih dari oral aku tidak berani karena terbentur virginitas yang
kuanggap masih perlu dijunjung meskipun hanya sekedar untuk membuktikan kepada
suaminya bahwa dia dapat menjaga diri. Sebenarnya aku lebih suka dengan Linda
dari pada pacarku yang sebentar lagi akan married denganku, tapi kan tidak
mungkin aku memalingkan seluruh hidupku kepada Linda, sedangkan pacarku sudah
jalan hampir 5 tahun denganku. Kesetiaan serta pengorbanannya sudah benar-benar
teruji selama kurun waktu tersebut dan hubungan kami sudah seperti suami istri.
Untunglah Linda pun mengerti dan menyadari konsep pemikiranku, hingga secara
perlahan Linda mulai menjauh dan mendapatkan penggantiku.
Meskipun hatiku sempat panas juga
melihat dia mesra dengan lelaki lain tapi aku harus iklas (Selamat berbahagia
Linda). Kembali aku menjalani rutinitas kehidupanku sehari-hari yang sangat
menjemukan, hingga akhirnya aku menemukan sesuatu yang baru dan benar-benar
baru dalam kehidupanku. Waktu itu aku sedang santai membaca iklan di harian
Poskota untuk menukar mobilku. Tak sengaja aku melihat iklan panti pijat dan
dari sekian puluh iklan, ada beberapa yang menyediakan pijat khusus untuk
wanita dengan tenaga pria. Aku berpikir pasti ini iklan gigolo terselubung. Aku
langsung mendapatkan ide untuk mengiklankan diri. Uang dapat, seks dapat. Wah,
pasti asyik. Hari itu juga aku langsung pasang iklan dengan nomor pager dan HP
untuk terbit besok. Semalaman aku tak dapat tidur memikirkan pengalaman baru
apa yang akan kualami besok, hingga tanpa sadar aku jatuh tertidur. “Kring…”
Suara weker di kamarku mengagetkanku.
Buru-buru aku mematikan dering weker
yang selalu setia mengingatkanku untuk disiplin dalam kerja. Aku duduk sejenak
untuk menyesuaikan tubuh dan jiwaku ke alam pagi yang cerah. Aku teringat bahwa
hari ini aku pasang iklan. Cepat-cepat kuaktifkan HP dan pagerku. Sekian menit
kutunggu tak ada yang masuk. “Ah, mungkin masih terlalu pagi,” pikirku. Memang
sih saat ini baru pukul 06:00 pagi. Tidak mungkin ada orang yang butuh di
‘pijat’. Aku tersenyum sendiri dan langsung menuju kamar mandi untuk siap-siap
ke kantor. Waktu yang berjalan di kantor terasa lama sekali. Mungkin akibat aku
terlalu mengharap order masuk. Sekitar pukul 10:00, melodi JIKA-nya Melly
berkumandang di HP-ku. Aku lihat sepintas nomor si penelpon tidak kukenal.
“Hallo..,” sapaku seramah mungkin. “La..! Gimana sih pesanan gua belum
dikirim.” Aku kaget setengah mati. Ternyata yang ngebel adalah Pak Daniel teman
bisnisku yang paling akrab dan menanyakan sikat gigi hotel pesanannya. “Lho,
Pak Daniel dimana..?” “Gua lagi di rumah saudara nih.
Gimana, udah ada kabar belum..?”
“Eh ya, besok kayanya baru bisa kirim. Itupun sore..!” jawabku. “Yah wis, gua
tunggu yah. Jangan sampai gagal lagi..!” “Iya! Beres boss!” “Iya wis, thank’s
yah..!” Aku jadi geli sendiri. Aku pikir ada ‘order’, tidak tahunya order juga
sih, tapi bukan yang lagi kutunggu. Tak lama gantian pagerku bergetar. Aku
segera membaca pesan yang tertera. “Hubungi saya di 546xxxx. Saya tertarik
dengan Anda.” pengirimnya Ibu Ella. Aku bersorak gembira dan tak buang waktu
lagi, kuhubungi juga saat itu dari ruangan kantorku. “Hallo..,” terdengar suara
wanita di gagang telponku. “Selamat siang. Bisa bicara dengan Ibu Ella..?”
“Dari mana yah..?” “Dari Rudy, Bu..!” (Oh ya aku iklan pakai nama Rudy) “Oh ya.
Kamu masih kuliah atau kerja..?” “Saya sudah kerja, Bu..!” jawabku sopan. “Eh,
jangan panggil saya Ibu.
Panggil aja Tante, ok..?” “Iya,
Tante.” “Kamu udah lama jadi pemijat..?” “Baru ini kali, Tante..” jawabku
jujur. “Usia kamu berapa..?” “26, Tante.” Obrolan kami semakin ngalor ngidul,
bahkan Tante Ella menanyakan size aku segala. Pokoknya semua data tentang aku
dikorek habis-habisan. Dan sepertinya dia puas dengan data diriku. Bahkan dia
mulai membuka data dirinya, bahwa dia adalah istri seorang pria kaya raya yang
mempunyai banyak perusahaan. Akhirnya kami sepakat untuk bertemu di
apartemennya (sewa atau beli aku tidak tahu) di daerah Ancol, Jakarta utara.
Tepat jam 11:00 siang aku keluar kantor. Dengan alasan dinas luar aku memacu
mobilku. Sampai di lobi apartemennya, aku mencari-cari Tante Ella yang katanya
memakai jeans, dan kaos biru.Sampai mataku lelah memandang, aku belum dapat
menemukan sosok yang kucari.
Aku mulai putus asa. Satu jam sudah aku
menunggu, namun baru saja aku beranjak dari bangku dan ingin pulang, pundakku
ditepuk seseorang. “Rudy, yah..?” Aku berbalik, dan ternyata sosok yang kucari
sudah di depan mata. Celana jeans dan kaos ketat biru. Tapi alamakkkk. Wajahnya
sudah banyak keriput, kutaksir usianya 50-an. Kaos ketatnya banyak
tonjolan-tonjolan lemak di pinggang dan perutnya, dan yang bikin aku shock
orangnya pendek dan gemuk. “Kenapa, nggak suka..?” suara Tante Ella
menyadarkanku dari keterkejutanku. “Ach, nggak. Tante cantik,” ujarku melawan
kata batinku. Tante Ella mengajakku minum di pinggir kolam renang yang tersedia
di apartemen situ. Obrolan kami ngalor ngidul, sementara aku berusaha tidak
membuatnya kecewa dengan segala kebohonganku.Akhirnya acara puncak pun tiba.
Tante Ella menggiringku memasuki
apartemennya yang luas. Aku masih bingung dan seperti orang bodoh, sementara
Tante Ella sudah membuka seluruh pakaiannya hingga bugil, dan tengkurap di
ranjang. Dengan tangan gemetar aku mulai melakukan pijatan-pijatan lembut di
pundaknya. Tapi rupanya Tante Ella memang niatnya ‘main’ dari awalnya. Makanya
baru 2 menit aku melakukan pijatan, tante Ella langsung mengerjai tubuhku.
Kemeja dan celanaku sudah melayang ke lantai, dan sebagai wanita cukup umur
Tante Ella paham sekali mana daerah sensitif lelaki. Kini aku yang berbalik
dipijatnya. Sapuan lidah Tante Ella yang basah di sekujur tubuhku membuatku
lupa. Nafsuku yang tadinya drop perlahan mulai bangkit.
Senjataku yang sudah tegang
dilumatnya dan tanpa permisi lagi Tante Ella langsung menaiki tubuhku dan
menduduki senjataku yang sudah mengacung. “Sleeep..,” senjataku memasuki liang
kewanitaan Tante Ella. Lumayan seret. Kupejamkan mataku membayangkan bahwa yang
berada di atasku adalah Nafa Urbach, sementara Tante Ella semakin ganas
bergerak liar dan menggoyangkan pinggulnya sambil menjilati dadaku. “Ufh..,”
nikmatnya luar biasa. Aku mencoba bertahan. Dan tak lebih dari 10 menit seluruh
tubuh Tante Ella seperti bergetar dan mengejang melepaskan orgasmenya yang
pertama. “Accchh, Rud..,” Tante Ella merebahkan tubuhnya di sampingku. Aku yang
ingin segera menuntaskan hasratku memeluk tubuhnya. Namun nafsuku mendadak drop
kembali saat kenyataan yang aku rasakan di tanganku tidaklah kencang dan
kenyal, tapi lembek dan penuh lemak. Nafsuku drop. Senjataku secara perlahan
mengecil kembali.
Aku rebah di samping tubuh Tante
Ella dan memandang langit-langit sambil merenungi yang baru saja terjadi.
“Tit…” pagerku yang berada di kantong celanaku yang berhamburan di lantai
berbunyi sekali, pertanda ada pesan yang belum terbaca. Aku segera melompat
dari ranjang dan membaca pesan yang masuk. “Saya tertarik dengan anda, harap
hubungi saya di 424xxxx dari Yenny.” “Kenapa, Rud..? Ada order lagi yah..?”
rupanya Tante Ella sudah bangkit dari kelelahannya. “Ah nggak, Tante. Kebetulan
saja ada saudara saya yang lagi perlu dengan saya,” aku mencoba berbohong.
“Kenapa dia nggak hubungi HP kamu..?” Aku agak gugup juga.
Untunglah aku dapat menguasai
keadaan. “Mungkin nggak dapat signal, Tante.” “Maaf Tante, saya mungkin nggak
bisa lama-lama. Saya harus kembali ke kantor.” Tanpa meminta persetujuannya aku
segera mandi dan langsung merapihkan diri. Selesai merapihkan diri, kulihat
Tante Ella masih dalam keadaan bugil. Tampak sekali bentuk tubuhnya yang… apa
lagi saat dia berjalan dan mengambil sesuatu di tasnya. “Nih untuk kamu Rud..!”
Tante Ella rupanya mengambil uang di Tasnya untukku. “Nggak usah Tante…” aku
mencoba menolak. “Tidak apa-apa, Tante puas dengan permainan kamu, Rud.” Tante
Ella memaksa dan memasukkan uang tersebut di kantong celanaku.
Setelah berbasa-basi akan
menghubungi kembali dan mengucapkan terima kasih, aku segera pergi dan langsung
menuju parkiran, “Bebas sudah aku,” pikirku. Baru saja pantatku duduk di
belakang setir, pagerku berbunyi kembali. “Saya janda usia 35 tahun, bersih,
putih dan sexy, harap hubungi saya di 08169xxxxx.” Wah, ramai juga nih order,
namun mengingat aku banyak kerjaan di kantor dan aku takut ketemu yang seperti
Tante Ella, aku cuekin pesan itu sementara dan kembali ke kantor.Terus… (Kalau
tidak salah waktu itu aku dapat 6 orang tante dan 4 di antaranya seperti Tante
Ella, yang 2-nya agak bagus. Ada satu yang berdua dengan suaminya. Pokoknya
benar-benar pengalaman baru.)
No comments:
Post a Comment